Awal yang Sederhana: Meja Kerja, Kopi, dan Kertas Bekas
Pagi itu, sekitar tahun 2016, saya duduk di meja kantor kecil yang menghadap ke jendela sempit—kopi panas di satu tangan, segudang briefs klien di layar. Deadline menekan. Seperti biasa, saya ambil selembar kertas bekas dari tumpukan. Bukan untuk menulis catatan rapat. Saya mulai mencoret. Garis melengkung, titik, dan beberapa bentuk geometris yang tak beraturan. Dalam hati saya terdengar, “Ini buang-buang waktu,” tapi saya biarkan saja; tangan saya seperti tahu lebih dulu daripada otak saya.
Beberapa menit kemudian, pola acak itu berubah menjadi thumbnail logo. Bentuk yang awalnya tampak sia-sia memberi saya petunjuk proporsi dan ritme visual yang tidak muncul ketika saya mengetik di layar. Pengalaman ini berulang beberapa kali selama karier desain grafis saya. Coret-coret sederhana—yang sering diremehkan—justru memicu alur ide yang lebih cepat dan lebih kaya.
Mengapa Coret-coret Memicu Kreativitas Otak
Ada dua alasan neuropsikologis yang saya amati dari pengalaman profesional saya. Pertama, coret-coret bekerja sebagai jembatan antara pikiran sadar dan bawah sadar. Saat tangan bergerak otomatis, area premotor dan sensorik otak aktif tanpa beban kognitif tinggi. Ini memberikan ruang bagi asosiasi lepas untuk muncul — kombinasi bentuk, metafora visual, atau solusi komposisi.
Kedua, motorik halus melalui pena dan kertas memperkuat representasi visual di otak. Saya pernah membandingkan dua sesi ideation: satu di tablet, satu di kertas. Sesi kertas menghasilkan lebih banyak variasi konsep dalam waktu yang sama. Ada sensasi fisik—tekstur kertas, resistensi tinta—yang memancing detail yang lebih halus dan keputusan desain yang lebih cepat.
Proses: Dari Coretan Jadi Ide Visual
Biarkan saya ceritakan satu proyek konkret. Tahun 2019, saya diminta mendesain identitas visual untuk kedai kopi lokal yang ingin tampil “akan kembali ke akar tetapi tetap kontemporer.” Saya memulai dengan 20 menit coretan bebas: biji kopi, pola daun, bentuk cangkir, huruf yang melengkung. Setelah itu, saya memilih tiga coretan yang paling menarik secara intuitif.
Dari tiga coretan itu, saya buat thumbnail beberapa skala—sketsa kecil yang memaksa saya memilih elemen penting. Teknik ini saya pelajari dari mentor lama saya; dia pernah bilang, “Buat yang kecil. Ide besar tumbuh dari yang kecil.” Thumbnail memaksa kompromi visual: apa yang hilang, apa yang harus dikuatkan. Hasilnya adalah konsep yang akhirnya dipoles di komputer menjadi logo yang sekarang masih digunakan oleh klien tersebut.
Saya juga sering memakai coretan untuk memecahkan masalah tipografi. Ketika huruf tertentu tidak “berbicara” dengan gambar, saya ambil pena dan menggambar ulang huruf itu beberapa kali — seringkali menemukan ligatur atau potongan yang menjadi karakter unik desain. Pengulangan tangan-mata ini mempercepat iterasi jauh lebih efektif dibandingkan hanya menggeser slider di aplikasi desain.
Praktik yang Bisa Dicoba — Langsung dan Efektif
Berikut beberapa praktik yang sudah saya uji sendiri dan ajarkan kepada junior di studio: pertamanya, lakukan 10-minute doodle sprint sebelum briefing klien. Batas waktu memaksa otak untuk memilih ide yang paling intuitif. Kedua, buat 12 thumbnail untuk satu ide; keterbatasan skala memaksa keputusan desain. Ketiga, kombinasikan coretan bebas dengan kata-kata — sketchnote membantu menghubungkan visual dan narasi merek.
Catat juga: coret-coret bukan pengganti proses analitik. Ia pendahulu yang membuka kemungkinan. Setelah coretan memberi arah, gunakan alat digital untuk refinemen, grid, dan produksi akhir. Dan kalau Anda ingin membaca sudut pandang lain tentang visual thinking, saya pernah menemukan beberapa inspirasi menarik di laurahenion — sumber yang bagus untuk mengembangkan cara berpikir visual.
Di akhirnya, coret-coret adalah kebiasaan produktif. Ia menenangkan pikiran saat ide mentok, membuka pintu bawah sadar, dan memberikan bahasa visual awal yang bisa diuji dan dipoles. Cobalah besok pagi: buat coretan selama 10 menit sebelum memulai layar. Biarkan tangan bicara dulu. Hasilnya mungkin sederhana. Tapi bagi otak kreatif—terutama kita yang bekerja di desain grafis—sederhana itu sering kali adalah pintu menuju hal besar.